Skip to main content

Sejenak, Komentarku

Kali ini Nanang Suryadi tampil dengan puisi yang menukik kepada diri pada usia ke 34, catatan cinta untuk kh, isteri dan kepada putri tercinta Cahaya Hastasurya. Saking cintanya maka dilakukan "muhasabah" satu unsur penting bagi rohaniah pemeluk. Saya amat senang dengan ekspresi yang mengalir nyaman, komunikatif tapi puitis. Kalau dirujuk kepada tradisi masterpiece dunia baik dari Chairil, Amir Hamzah, Usman Awang, Pablo Neruda dan Garcia Lorca maka puisi sejenis ini yang tetap evergreen dan abadi. Itu "Aku", "PadaMu Jua", "Mata Ayah", "Love" dan "Perempuan Tak Setia" amatlah indahnya, bukan? Perhatikan ungkapan Nanang, dia tidak memaksakan sesebuah ideologi atau dengan meneriak hebat dengan bombasme diksi, tapi diungkapkan dengan penuh cinta dan puitis. Katanya "jarum yang menunjuk/menelusur ke dada hibuk" dan jam memutar kembali "ke awal mula jadi". Hidup itu aneh sesuatu yang sulit dimengerti, tapi diri masih mau memberi arti. Dan penyair pewaris kata-kata coba menafsirkan abstraksi dari hidup yang sukar itu. Ini kerja penyair kan? Kepada sang isteri katanya "melebur dalam cinta yang maha cinta" aduh, tinggi nian hasratnya dan justeru karena itu memungkinkan "menabur cinta ke dada Cahaya" untuk putri kesayangan mereka. Coba lihat, Nanang menyorot tenang tradisi gurindam syair Melayu, justeru dia bersedia bernada profetik dalam semangat Gurindam 12 Raja Ali Haji. Dengan tenang dia memesankan sutra kata seorang ayah kepada putri tercinta Cahaya Hastasurya, menjadi anak yang baik, tenang dan ingat sembahyang,agar bersedia mendoakan kedua ibubapanya. Lihat sahaja pertembungan bunyi sengau ng yang menimbulkan musikalitas berimbang, seolah dendangan atau lullaby untuk si puteri. Akhirnya kita melihat penyair berusia 34 ini, seolah sudah bersedia menemui Ilahi (berdepan dengan maut) dengan siapsedia memahamkan persoalan syariat, hakekat dan makrifat. Pokoknya kita mesti bersedia dari alif (awal) menguasai seluk-beluk ilmu sebelum menaiki tangga hakekat dan makrifat "bagaimana cara membilang diri akan selamat/jika syair takmencapai alamat" juga "jika lalai hayat mencerna ayat" (menghayati al-qur'an) dengan begitu akan terhindar "diri dari laknat" (hal-hal yang mungkar dan mazmumah). Pada tingkat dan makam yang mana posisi penyair ini? Nanang masih mencari, sebelum berusia 40, sudah tentu ke arah dan insights yang lebih positif. Salam kreatif dariku.

Dato Dr Ahmad Kamal Abdullah (Kemala)

Kuala Lumpur, Malaysia 23 Agustus 2007

Comments

Popular posts from this blog

Kumpulan Puisi Orang Yang Merenung dan Perenungan

Kumpulan Puisi  sajak-sajak: nanang suryadi   ORANG YANG MERENUNG  PRIBADI YANG TERBELAH bercakap sebagai karib yang selalu menghinakan satu sama lain melecehkan, bertempur dalam ruang dan waktu: diri! ada berapa kepribadian yang hadir pada dirimu? bertolak belakang paradoksal atau saling melengkapi sebagai harmoni sekular atau tak dikotomis atau bukan engkau hadir mencoba untuk tidak goyah, utuh mengatakan pada dunia tapi tak bisa senantiasa ada dialektik senantiasa ada keinginan-keinginan manusia yang tak terpadamkan , sepertinya..... Malang, 7 Juni 1997 ORANG YANG MERENUNG buat: cak zen tanda yang membayang pada bola mata adalah dunia berputaran dalam benak kepala terbacalah kegundahan manusia merenungkan kehidupan sebagai cerita tiada habis-habisnya seperti juga ayat yang terbuka untuk ditafsirkan alam mengajarkan rahasia-rahasia sebagai tanda-tanda terbacakah juga di situ segala jawaban? orang yang merenung ...

Kumpulan Puisi Sosial Politik Kemasyarakatan

Kumpulan Puisi Sosial Politik Kemasyarakatan SAJAK-SAJAK NANANG SURYADI  ORANG ORANG  YANG MENYIMPAN API DALAM KEPALANYA PADA TEMARAM PERTARUHAN DIMAINKAN di sudut sebuah pasar malam, bayangan tentang las vegas, macao, dan crown melintas-lintas dalam benakku, seorang perempuan tua meraup coin dari alas penuh nomer, pada temaram pertaruhan dimainkan, nasib baik atau buruk penjudi kelas teri di pojok yang lain, gambar ikan dan udang yang ditebak menyimbolkan apa? selain penasaran yang minta dilunaskan, karena kekalahan menikam ulu hati, memakilah, karena tiada mampu berbuat apa melihat segalanya terjadi: upeti diselinapkan pada tangan siapa. namun adakah yang peduli, karena pertaruhan terus dimainkan. hidup dan mati di meja kehidupan. (sepertinya malam telah begitu larut, dalam benak kita menari-nari dursasana dan sengkuni yang menang dadu. adakah kita pandawa yang terusir ke hutan belantara?) Malang, 1997 KINCIR DIAM SEBUAH PA...

Bulan di Langit Malam

Melintasi malam Bulan separuh Di langit cerah Cahayanya menerang Di kejauhan Malang, 2023