di sebatas senja, selalu puisi datang tiba-tiba. malam mencium cahaya, memeluknya demikian mesra. remang yang menggetarkan
di desah napas di hembus napas kau rasakan hangatnya? sebagai deru yang memburu, ciuman yang memabukkan
apa kabar malam, seru matahari yang direnggut kelam. mereka saling merindukan, di secarik senja
di remang cahaya, segala bisa menggila, juga kata. aku dimabuk kata. kata menari-nari di dalam kepala. menggila. gila
setiap senja, aku menandai langit, dengan tatap kehilangan. serupa kenangan, kukira
aku menyapa senja, dan senja menyapaku dengan redup cahaya
tataplah hujan di saat senja, mungkin kau akan temukan pelangi di langit, mungkin juga wajah yang kau rindu, tersenyum padamu
tataplah remang cahaya di saat senja, disana berkumpul rasa kehilangan dan perjumpaan. cahaya dipagut gelap. sunyimu kian membekap.
hujan di luar, gemiricik yang gaib. serupa ingatan yang tak habis. tentang aku yang kuyup di bawah senja.
mungkinkah butir hujan yang menguyup rambutku, adalah airmata senja?
kudengar: “akulah senja, yang kau cinta, karena demikian fana”
Malang, 2011
di desah napas di hembus napas kau rasakan hangatnya? sebagai deru yang memburu, ciuman yang memabukkan
apa kabar malam, seru matahari yang direnggut kelam. mereka saling merindukan, di secarik senja
di remang cahaya, segala bisa menggila, juga kata. aku dimabuk kata. kata menari-nari di dalam kepala. menggila. gila
setiap senja, aku menandai langit, dengan tatap kehilangan. serupa kenangan, kukira
aku menyapa senja, dan senja menyapaku dengan redup cahaya
tataplah hujan di saat senja, mungkin kau akan temukan pelangi di langit, mungkin juga wajah yang kau rindu, tersenyum padamu
tataplah remang cahaya di saat senja, disana berkumpul rasa kehilangan dan perjumpaan. cahaya dipagut gelap. sunyimu kian membekap.
hujan di luar, gemiricik yang gaib. serupa ingatan yang tak habis. tentang aku yang kuyup di bawah senja.
mungkinkah butir hujan yang menguyup rambutku, adalah airmata senja?
kudengar: “akulah senja, yang kau cinta, karena demikian fana”
Malang, 2011
Comments