Skip to main content

Kata-kata Menari Sendiri, Penyair Ternganga Saja. Biar!

Halo, sore yang membahasakan gerimis. Gerimis yang itu itu juga. Halo, siapa kamu? di jam jam yang sibuk. Menata usia. Menatap gerimis

Gerimis yang kusapa malu malu. Gerimis yang sama baik di desa atau di kota. Kami sering mengundangnya datang ke dalam puisi

Gerimis yang tib-tiba saja melebat. Mengguyur ke dalam baris -baris kata yang menjeratnya. Gerimis yang melebat. Hujankah namanya?

Hujan? Siapa memberinya nama demikian. Kamus-kamus disusun dari kejadian dan pengucapan. Kesilapan dan kealpaan. Tapi mengapa hujan?

Kami sering mempertanyakan sesuatu yang mungkin tidak perlu. Kami belajar bahasa dari tanya. Apakah tanya selalu terjawab? Tanya kami

Hujan yang tak habis habis. Tanya kami pun tak habis habis. Menggelontor selokan. Membanjir di jalan-jalan. Kenapa banyak sampah?

Apa yang cantik dari hujan? Gerimis? Senja? Tanya kembali bertanya. Mengapa penyair demikian senang menuliskannya?

Mengapa luka? mengapa kenangan? kata teman kami bertanya. Apakah cinta bukan sebuah harapan? Kebahagiaan? Rindu yang pedih?

Gerimis, hujan, senja, luka, kenang, rindu, cinta, airmata tak henti henti datang. Ke dalam puisi yang demikian sedih. Ke dalam dada.

Halo, ini senja yang membahasakan diri sendiri. Mengapa dan ada apa dengan senja? Halo, aku senja, kenapa kau tak mau aku dalam puisi

Halo, ini airmata. Ada apa dengan airmata? Mengapa kau tak suka airmata? Mengapa? Apakah kau tak punya airmata. Halo


Senja mengabarkan hujan meluka rindu, cintanya penuh airmata

Hujan mengabarkan senja merindu kenangan, yang meluka cinta pada gerimis

Gerimis di saat senja, adalah airmata, menghujan kenangan dengan rindu dan cinta yang luka

Kenangan adalah luka cinta dan rindu, senja yang gerimis menderaskan hujan

Cinta adalah luka, rindu adalah airmata, senja yang menggerimis, menghujan airmata

Amboi, mengapa mereka menari-nari begitu. Menderet-deretkan dirinya sendiri? Mari masuk! Mari berpestalah sendiri!

Senja tertawa-tawa gembira, luka meluka luka rindu, cinta menghujan-hujan, airmata mendera-dera. Mereka berpesta. Lihat! Menari-nari

Airmata! Airmata! kemana senja pergi? Hujan merindunya dengan kenang cinta yang luka!

Hujan yang sama, gerimis yang sama, senja yang sama. Kau merasa ada cinta yang meluka? Rindu yang menganga?

Penyair ternganga. Berdiam dalam sunyi. Menatap kata menari-nari sesuka hati. Tak mau peduli! Biar!

Malang, 28 Februari 2011

Comments

Popular posts from this blog

Kumpulan Puisi Orang Yang Merenung dan Perenungan

Kumpulan Puisi  sajak-sajak: nanang suryadi   ORANG YANG MERENUNG  PRIBADI YANG TERBELAH bercakap sebagai karib yang selalu menghinakan satu sama lain melecehkan, bertempur dalam ruang dan waktu: diri! ada berapa kepribadian yang hadir pada dirimu? bertolak belakang paradoksal atau saling melengkapi sebagai harmoni sekular atau tak dikotomis atau bukan engkau hadir mencoba untuk tidak goyah, utuh mengatakan pada dunia tapi tak bisa senantiasa ada dialektik senantiasa ada keinginan-keinginan manusia yang tak terpadamkan , sepertinya..... Malang, 7 Juni 1997 ORANG YANG MERENUNG buat: cak zen tanda yang membayang pada bola mata adalah dunia berputaran dalam benak kepala terbacalah kegundahan manusia merenungkan kehidupan sebagai cerita tiada habis-habisnya seperti juga ayat yang terbuka untuk ditafsirkan alam mengajarkan rahasia-rahasia sebagai tanda-tanda terbacakah juga di situ segala jawaban? orang yang merenung membaca tanda-tanda

Kumpulan Puisi Sosial Politik Kemasyarakatan

Kumpulan Puisi Sosial Politik Kemasyarakatan SAJAK-SAJAK NANANG SURYADI  ORANG ORANG  YANG MENYIMPAN API DALAM KEPALANYA PADA TEMARAM PERTARUHAN DIMAINKAN di sudut sebuah pasar malam, bayangan tentang las vegas, macao, dan crown melintas-lintas dalam benakku, seorang perempuan tua meraup coin dari alas penuh nomer, pada temaram pertaruhan dimainkan, nasib baik atau buruk penjudi kelas teri di pojok yang lain, gambar ikan dan udang yang ditebak menyimbolkan apa? selain penasaran yang minta dilunaskan, karena kekalahan menikam ulu hati, memakilah, karena tiada mampu berbuat apa melihat segalanya terjadi: upeti diselinapkan pada tangan siapa. namun adakah yang peduli, karena pertaruhan terus dimainkan. hidup dan mati di meja kehidupan. (sepertinya malam telah begitu larut, dalam benak kita menari-nari dursasana dan sengkuni yang menang dadu. adakah kita pandawa yang terusir ke hutan belantara?) Malang, 1997 KINCIR DIAM SEBUAH PASAR MALAM

Kumpulan Puisi Protes Sosial: Surat Untuk Ibu Pertiwi

Sajak-sajak NanaNg SuRyaDi SURAT UNTUK IBU PERTIWI STOP PRESS, 1998 "untuk hidup mengapa begitu rumitnya?" televisi menyala: rupiah terpuruk jatuh harga membumbung tinggi banyak orang hilang tak tentu rimbanya 12 Mei 1998 mahasiswa mati tertembak siapa? 13-14 Mei 1998 kota-kota terbakar kerusuhan perkosaan, teror! 21 Mei 1998: "sang raja lengser keprabon" graffiti menyala di tembok-tembok: "pendukung reformasi" eksodus: "singapura-hongkong-china-taiwan!" munaslub: "turunkan para pengkhianat!" ninja beraksi, orang berlari, maubere: "referendum!" "mengapa hidup begitu rumitnya?" seorang ayah bunuh diri bersama empat anaknya 1998, belum usai... (hari ini ada berita apa lagi?) Malang, 1998  DERING TELPON DARI MANA ASALNYA dering telpon dari mana asalnya, berdering-dering saja, kabarkan apa, apakah berita yang sama seperti kemarin, tentang sebuah negara berkembang